BREVETUSKP.COM – Wajib Pajak UMKM merupakan salah satu kelompok Wajib Pajak yang diberikan fasilitas berupa kemudahan dalam pemenuhan hak dan kewajiban perpajakannya. Pada artikel ini akan dibahas mengenai: Kriteria dan penghasilan; Wajib Pajak UMKM yang dikenakan PPh Final 0,5%; Penghitungan, pembayaran/penyetoran, dan pelaporan Wajib Pajak UMKM; dan Ketentuan pengukuhan PKP bagi Wajib Pajak UMKM.
Wajib Pajak Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (WP UMKM)
Pengertian Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
Kriteria Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dapat memuat modal usaha, indikator kekayaan bersih, hasil penjualan tahunan, atau nilai investasi, insentif dan disinsentif, penerapan teknologi ramah lingkungan, kandungan lokal, atau jumlah tenaga kerja sesuai dengan kriteria setiap sektor usaha.
Pasal 6 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah yang telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 Tentang Cipta Kerja Menjadi Undang-Undang (UU UMKM).
Kriteria UMKM Berdasarkan Modal Usaha dan Hasil Penjualan Tahunan
Pasal 35 Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021
USAHA MIKRO
merupakan usaha dengan:
- modal usaha lebih dari Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah) sampai dengan Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha;
- hasil penjualan tahunan lebih dari Rp2.000.000.000 (dua miliar rupiah) sampai dengan Rp15.000.000.000 (lima belas miliar rupiah).
USAHA KECIL
merupakan usaha dengan:
- modal usaha paling banyak Rp1.000.000.000 (satu miliar rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha;
- hasil penjualan tahunan paling banyak sebesar Rp2.000.000.000 (dua miliar rupiah).
USAHA MENENGAH
merupakan usaha dengan:
- modal usaha lebih dari Rp5.000.000.000 (lima miliar rupiah) sampai dengan Rp10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah), tidak termasuk tanah dan bangunan tempat usaha;
- hasil penjualan tahunan lebih dari Rp15.000.000.000 (lima belas miliar rupiah) sampai dengan Rp50.000.000.000 (lima puluh miliar rupiah).
Pengertian Wajib Pajak UMKM
Dalam ketentuan perpajakan, pengertian Wajib Pajak UMKM ini berbeda dengan pelaku UMKM yang tercantum dalam UU UMKM. Secara ketentuan, tidak terdapat istilah Wajib Pajak UMKM dalam ketentuan perpajakan. Istilah Wajib Pajak UMKM tersebut hanya untuk memudahkan dalam penggolongan Wajib Pajak.
Yang dimaksud dengan Wajib Pajak UMKM di dalam ketentuan perpajakan adalah Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto usaha tertentu, yaitu Wajib Pajak yang memiliki peredaran bruto usaha tidak melebihi Rp4.800.000.000 (empat miliar delapan ratus juta rupiah) dalam 1 (satu) tahun buku.
Penyebutan Wajib Pajak UMKM ini dimulai sejak diterbitkannya Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2013 Tentang Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Usaha Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Memiliki Peredaran Bruto Tertentu yang diberlakukan sejak 1 Juli 2013. Untuk saat ini, ketentuan tentang Pajak Penghasilan (PPh) bagi Wajib Pajak UMKM diatur dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 Tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan.
Besarnya peredaran bruto yang menjadi dasar penentuan kriteria Wajib Pajak UMKM tersebut merupakan jumlah peredaran bruto dalam 1 (satu) tahun dari Tahun Pajak terakhir sebelum tahun pajak bersangkutan. Jika pada tahun pajak sebelumnya Wajib Pajak telah memiliki peredaran bruto usaha melebihi Rp4,8 miliar, maka Wajib Pajak tidak dapat lagi disebut sebagai Wajib Pajak UMKM.
Contoh #1:
Baryadi memiliki kegiatan usaha perdagangan kain. Selama Tahun Pajak 2023, peredaran bruto usaha Baryadi dari perdagangan kain sebesar Rp 3 miliar. Dengan demikian, Baryadi masih tergolong sebagai Wajib Pajak UMKM.
Contoh #2:
CV WDS memiliki kegiatan usaha jasa pemeliharaan mesin. Selama Tahun Pajak 2023, peredaran bruto usaha CV WDS dari jasa pemeliharaan mesin sebesar Rp5 miliar. Karena telah melebihi Rp4,8 miliar dalam 1 (satu) tahun pajak, maka untuk tahun pajak 2024 CV WDS tidak lagi memenuhi kriteria sebagai Wajib Pajak UMKM.
Untuk Wajib Pajak Yang memiliki cabang usaha, peredaran bruto yang menjadi dasar penentuan kriteria Wajib Pajak UMKM merupakan peredaran usaha dari pusat beserta cabangnya. Sedangkan untuk Wajib Pajak orang pribadi suami-istri yang melaksanakan kewajiban perpajakan secara terpisah, besarnya peredaran bruto tersebut ditentukan berdasarkan penggabungan peredaran bruto usaha dari suami dan istri.
Contoh #1:
PT PSE memiliki kegiatan usaha jasa ekspedisi yang berkedudukan di Semarang. Selain di Semarang, PT PSE juga memiliki cabang di Yogyakarta. PT PSE terdaftar pada 2022. Selama tahun pajak 2023, peredaran bruto usaha di Semarang sebesar Rp2,5 miliar dan di Yogyakarta sebesar Rp1,5 miliar. Atas hal tersebut, PT PSE masih termasuk kriteria Wajib Pajak UMKM karena peredaran bruto di Semarang dan Yogyakarta belum melebihi Rp4,8 miliar dalam 1 (satu) tahun pajak.
Contoh #2:
Handoyo dan Sriyanti memiliki kegiatan usaha jasa transportasi. Mereka sepakat untuk melaksanakan kewajiban perpajakan secara terpisah. Handoyo memiliki NPWP sendiri yang terdaftar pada 2022 dan Sriyanti juga memiliki NPWP sendiri yang terdaftar pada 2021. Selama tahun pajak 2023, peredaran usaha Handoyo sebesar Rp3 miliar, sedangkan peredaran usaha Sriyanti sebesar Rp2,5 miliar. Atas hal tersebut, Handoyo dan Sriyanti tidak lagi termasuk dalam kriteria Wajib Pajak UMKM karena penggabungan peredaran usaha mereka telah melebihi Rp4,8 miliar dalam 1 (satu) tahun pajak.
Kewajiban Wajib Pajak UMKM
Seperti halnya Wajib Pajak lainnya, Wajib Pajak UMKM juga harus melaksanakan kewajiban perpajakannya dengan baik dan benar. Dalam sistem self assessment, setiap Wajib Pajak harus mendaftarkan diri untuk memperoleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) sendiri, menyusun pembukuan atau pencatatan atas kegiatan usaha, membayar pajak yang terutang, dan melaporkan Surat Pemberitahuan (SPT).
Dengan telah diimplementasikannya aplikasi Coretax, pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak UMKM dilaksanakan secara elektronik melalui Portal Wajib Pajak. Untuk dapat melakukan akses ke Portal Wajib Pajak, Wajib Pajak UMKM akan diberikan Akun Wajib Pajak dan harus diaktivasi oleh Wajib Pajak UMKM. Proses aktivasi akan berhasil jika alamat pos elektronik dan nomor telepon seluler Wajib Pajak telah tervalidasi dalam sistem Direktorat Jenderal Pajak (DJP).
Dalam melaksanakan pemenuhan kewajiban perpajakan secara elektronik, Wajib Pajak UMKM membutuhkan Tanda Tangan Elektronik untuk menandatangani dokumen elektronik. Wajib Pajak UMKM dapat memperoleh Tanda Tangan Elektronik dengan mengajukan Kode Otoritasi melalui Portal Wajib Pajak. Kode Otorisasi merupakan alat verifikasi dan autentikasi yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melakukan Tanda Tangan Elektronik tidak tersertifikasi yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Kantor pajak juga dapat menerbitkan Kode Otorisasi bersamaan dengan persetujuan dan aktivasi Akun Wajib Pajak.
Penandatanganan dokumen elektronik untuk Wajib Pajak UMKM orang pribadi dapat dilakukan melalui Kode Otorisasi yang dimiliki oleh:
- Wajib Pajak orang pribadi yang bersangkutan;
- wali atau pengampu, bagi anak yang belum dewasa atau orang yang berada dalam pengampuan; atau
- orang pribadi yang ditunjuk oleh Wajib Pajak orang pribadi sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menandatangani Dokumen Elektronik.
Sedangkan penandatanganan dokumen elektronik untuk Wajib Pajak UMKM badan dapat dilakukan melalui Kode Otorisasi yang dimiliki oleh:
- orang pribadi yang merupakan wakil Wajib Pajak; atau
- orang pribadi selain wakil Wajib Pajak yang ditunjuk oleh wakil Wajib Pajak sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan untuk menandatangani Dokumen Elektronik.
Sesuai dengan Pasal 32 UU KUP, wakil dari Wajib Pajak badan adalah pengurus. Yang termasuk pengurus adalah orang yang nyata-nyata mempunyai wewenang ikut menentukan kebijaksanaan dan/atau mengambil keputusan dalam menjalankan perusahaan, meskipun orang tersebut tidak tercantum namanya dalam susunan pengurus yang tertera dalam akte pendirian maupun akte perubahan.
Sedangkan jika pemenuhan kewajiban perpajakan Wajib Pajak UMKM diserahkan kepada kuasa pajak, penandatanganan dokumen elektronik dilakukan dengan menggunakan Kode Otorisasi yang dimiliki oleh kuasa pajak yang ditunjuk.
Pendaftaran NPWP
NPWP merupakan sarana identitas bagi setiap Wajib Pajak untuk melaksanakan kewajiban perpajakannya. Wajib Pajak harus mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP agar dapat melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
Untuk Wajib Pajak UMKM orang pribadi, NPWP yang diberikan berupa Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang telah diaktivasi sebagai NPWP dalam administrasi perpajakan. Wajib Pajak dapat melakukan pemadanan NIK atau validasi NIK melalui aplikasi yang disediakan oleh DJP.
Wajib Pajak UMKM, baik orang pribadi maupun badan, yang memiliki tempat kegiatan usaha di beberapa wilayah yang berbeda dengan wilayah kerja KPP, harus mendaftarkan usahanya di KPP tempat tinggal atau tempat kedudukan Wajib Pajak UMKM untuk mendapatkan Nomor Identitas Tempat Kegiatan Usaha (NITKU).
Jangka waktu pendaftaran NPWP ini dilakukan paling lambat:
- 1 (satu) bulan setelah kegiatan usaha dilakukan, untuk Wajib Pajak UMKM orang pribadi; dan
- 1 (satu) bulan setelah saat pendirian, untuk Wajib Pajak badan.
Contoh:
Gandi memiliki kegiatan usaha perdagangan mainan. Usaha Gandi dimulai pada 7 Mei 2024. Atas hal tersebut, Gandi harus mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP paling lambat 7 Juni 2024.
CV DRE bergerak pada jasa kebersihan. Berdasarkan akta notaris, CV DRE didirikan pada 29 April 2024. Atas hal tersebut, CV DRE harus mendaftarkan diri untuk memperoleh NPWP paling lambat 29 Mei 2024.
Kepemilikan NPWP ini bukan merupakan penentuan dimulainya kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak UMKM. Kewajiban perpajakan Wajib Pajak UMKM dimulai sejak kegiatan usaha mulai dilakukan. Jika Wajib Pajak tidak mendaftarkan NPWP sesuai jangka waktu yang telah ditentukan, maka Wajib Pajak UMKM dapat diberikan NPWP secara jabatan dan dikenakan sanksi perpajakan sesuai ketentuan yang berlaku.
Pembukuan
Di dalam ketentuan perpajakan, setiap Wajib Pajak harus menyelenggarakan pembukuan. Pembukuan adalah suatu proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mengumpulkan data dan informasi keuangan yang meliputi harta, kewajiban, modal, penghasilan dan biaya, serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa, yang ditutup dengan menyusun laporan keuangan berupa neraca, dan laporan laba rugi untuk periode Tahun Pajak tersebut.
Pembukuan ini harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
- harus diselenggarakan berdasarkan standar akuntansi keuangan yang berlaku di Indonesia;
- dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya;
- di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang Rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia;
- secara konsisten dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual atau stelsel kas.
Untuk keperluan perpajakan, WP UMKM yang menyelenggarakan pembukuan dapat menggunakan stelsel kas. Untuk dapat menggunakan stelsel kas, WP UMKM harus menyampaikan pemberitahuan ke kantor pajak paling lambat:
- bersamaan dengan penyampaian SPT Tahunan PPh Tahun Pajak sebelumnya; atau
- akhir Tahun Pajak dalam hal Wajib Pajak tidak menyampaikan SPT Tahunan PPh Tahun Pajak sebelumnya,
tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
Bagi WP UMKM yang baru terdaftar, penyampaian pemberitahuan menggunakan stelsel kas harus disampaikan paling lambat:
- 3 bulan sejak saat terdaftar; atau
- akhir tahun pajak,
tergantung peristiwa yang terjadi terlebih dahulu.
Berdasarkan pemberitahuan WP UMKM, kantor pajak menerbitkan surat keterangan penyelenggaraan pembukuan dengan stelsel kas. Namun, jika pemberitahuan tidak sesuai ketentuan, kantor pajak memberitahukan bahwa pemberitahuan WP tidak dapat diproses. Jika WP UMKM tidak menyampaikan pemberitahuan sesuai ketentuan, maka WP UMKM dianggap menyelenggarakan pembukuan dengan stelsel akrual.
Pembukuan yang dilakukan oleh Wajib Pajak sekurang-kurangnya harus terdiri atas catatan-catatan mengenai:
- harta;
- kewajiban;
- modal;
- penghasilan dan biaya;
- harga perolehan dan penyerahan barang atau jasa termasuk penjualan dan pembelian
sehingga dapat dihitung besarnya pajak yang terutang.
Pembukuan ini menjadi dasar bagi Wajib Pajak dalam membuat laporan keuangan berupa neraca dan laporan laba rugi pada Tahun Pajak tersebut. Pembukuan dapat diselenggarakan oleh Wajib Pajak secara elektronik maupun non-elektronik. Dokumen, buku, serta catatan yang menjadi dasar untuk pembukuan ini harus disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, pada:
- tempat tinggal dan/atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak orang pribadi; atau
- tempat kedudukan dan/atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak badan.
Meskipun terdapat kewajiban untuk menyusun pembukuan bagi setiap Wajib Pajak, terdapat pengecualian bagi Wajib Pajak UMKM orang pribadi. Untuk Wajib Pajak UMKM orang pribadi dapat tidak menyusun pembukuan, tetapi wajib untuk melaksanakan pencatatan. Pencatatan ini terdiri atas data yang dikumpulkan secara teratur sebagai dasar untuk menghitung jumlah pajak terutang.
Pencatatan
Pencatatan yang dilakukan oleh Wajib Pajak UMKM orang pribadi ini harus memenuhi persyaratan sebagai berikut:
- dengan memperhatikan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya serta didukung dengan dokumen yang menjadi dasar pencatatan;
- di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab dan satuan mata uang Rupiah sebesar nilai yang sebenarnya dan/atau seharusnya terjadi dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa asing yang diizinkan oleh Menteri sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
- dalam suatu Tahun Pajak berupa jangka waktu 1 (satu) tahun kalender mulai tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember; dan
- secara kronologis dan sistematis berdasarkan urutan tanggal diterimanya peredaran bruto dan/atau penghasilan bruto.
Bagi Wajib Pajak UMKM yang memiliki lebih dari 1 (satu) jenis usaha dan/atau tempat usaha, pencatatan harus dapat menggambarkan secara jelas untuk setiap jenis dan/atau tempat usaha.
Contoh:
Benny merupakan pedagang mainan yang memiliki toko mainan di Solo. Selain di Solo, Benny juga memiliki toko mainan di Sragen. Dalam melakukan pencatatan, Benny harus mencatat peredaran usaha toko mainan di Solo dan Sragen secara terpisah.
Pencatatan dapat dilakukan oleh Wajib Pajak UMKM orang pribadi secara elektronik maupun non-elektronik. Dokumen, buku, serta catatan yang menjadi dasar untuk pembukuan ini harus disimpan selama 10 (sepuluh) tahun di Indonesia, pada tempat tinggal dan/atau tempat kegiatan usaha Wajib Pajak orang pribadi.
Ketentuan Perpajakan Wajib Pajak UMKM
Kewajiban Pajak Penghasilan (PPh) bagi Wajib Pajak UMKM dibagi menjadi 2 (dua), yaitu: menggunakan tarif PPh yang bersifat final; atau menggunakan tarif ketentuan umum PPh atau tarif yang diatur dalam Pasal 17 ayat 1 huruf a UU PPh.
Penghasilan dari usaha yang diterima oleh Wajib Pajak UMKM akan dikenakan Pajak Penghasilan (PPh) yang bersifat final dalam jangka waktu tertentu. Tarif PPh yang bersifat final tersebut ditetapkan sebesar 0,5% dari peredaran bruto usaha Wajib Pajak UMKM. Pengenaan PPh bagi Wajib Pajak UMKM ini sering disebut dengan PPh Final 0,5%.
Namun, Wajib Pajak UMKM juga dapat dikenakan PPh sesuai ketentuan umum PPh jika: Wajib Pajak telah melewati jangka waktu tertentu; atau Wajib Pajak memilih untuk menggunakan ketentuan umum PPh. Pembahasan mengenai Wajib Pajak yang telah melewati jangka waktu tertentu akan dibahas pada bab berikutnya.
Wajib Pajak yang memilih untuk menggunakan ketentuan umum PPh wajib menyampaikan pemberitahuan secara tertulis kepada Direktur Jenderal Pajak melalui Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak Berstatus Pusat terdaftar.
Penyampaian pemberitahuan tersebut dilakukan paling lambat pada akhir Tahun Pajak. Wajib Pajak yang menyampaikan pemberitahuan tersebut akan dikenai PPh berdasarkan ketentuan umum PPh mulai Tahun Pajak berikutnya.
Contoh:
CV BSA merupakan Wajib Pajak UMKM. Pada tahun pajak 2023, PT BSA menggunakan tarif PPh Final 0,5% dalam melaksanakan kewajiban PPh. PT BSA ingin menggunakan ketentuan umum PPh untuk tahun pajak 2024. Atas hal tersebut, PT BSA harus menyampaikan surat pemberitahuan memilih ketentuan umum PPh kepada KPP tempat terdaftar paling lambat 31 Desember 2023.
Ketentuan penyampaian pemberitahuan dan penggunaan ketentuan umum PPh pada tahun pajak berikutnya tersebut tidak berlaku untuk Wajib Pajak UMKM yang baru mendaftarkan NPWP. Untuk Wajib Pajak UMKM yang baru terdaftar, dapat langsung memilih untuk menggunakan ketentuan umum PPh dengan cara menyampaikan pemberitahuan pada saat mendaftarkan NPWP.
Contoh:
Warsono, pengrajin tas, merupakan Wajib Pajak UMKM yang belum memiliki NPWP. Warsono ingin melaksanakan kewajiban perpajakan dengan menggunakan ketentuan umum PPh. Atas hal tersebut, Warsono dapat menyampaikan surat pemberitahuan memilih untuk menggunakan ketentuan umum PPh pada saat mendaftarkan NPWP. Warsono dapat menggunakan ketentuan umum PPh sejak saat terdaftar.
Yang perlu diingat, Wajib Pajak UMKM yang telah memilih menggunakan ketentuan umum PPh tidak dapat lagi beralih menggunakan tarif PPh Final 0,5% pada tahun pajak berikutnya.
Kesimpulan
Kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak UMKM pada dasarnya sama dengan Wajib Pajak lainnya, yang meliputi pendaftaran diri untuk memperoleh NPWP, melakukan pembukuan (untuk badan usaha) atau pencatatan (opsi bagi orang pribadi), serta menghitung, membayar, dan melaporkan pajak. Namun, pemerintah menyediakan mekanisme PPh Final 0,5% yang bersifat opsional dan berjangka waktu sebagai fasilitas untuk menyederhanakan pemenuhan kewajiban pajaknya, sehingga meringankan beban administrasi bagi para pengusaha.
Pada akhirnya, pelaku usaha yang masuk dalam kriteria Wajib Pajak UMKM dihadapkan pada pilihan strategis: memanfaatkan kemudahan tarif PPh Final 0,5% atau memilih untuk dikenai pajak berdasarkan ketentuan umum sejak awal. Pilihan ini memiliki konsekuensi jangka panjang, karena Wajib Pajak yang telah memilih skema umum tidak dapat kembali menggunakan tarif PPh Final 0,5%. Dengan demikian, pemahaman yang komprehensif atas setiap opsi, beserta syarat dan batas waktunya, menjadi bagian yang harus dipahami secara mendalam oleh Wajib Pajak UMKM untuk dapat mengoptimalkan hak sekaligus memenuhi kewajiban perpajakan secara benar dan sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Referensi
- Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP)
- Undang-Undang Pajak Penghasilan (UU PPh)
- Undang-Undang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UU UMKM)
- Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022
- Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 2021
- Peraturan Menteri Keuangan Nomor 164 Tahun 2023
Baca selanjutnya:
Kriteria dan Penghasilan Wajib Pajak UMKM yang dikenakan PPh Final 0,5%